“Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
Betapa dahsyatnya ucapan. Ia bisa menjadi motifasi, yang dengannya bisa mengobarkan semangat dan menggugah kesadaran, menggerakkan perorangan atau bahkan ribuan orang untuk melakukan kebajikan. Pada saat lain, juga bisa menjadi penghasut yang menjadikan kecendrungan sikap dan membangkitkan emosi sehingga seorang pribadi atau kelompok tergerak untuk bersikap dan berbuat kerusakan.
Ucapan, ketika menemukan bahasanya yang tepat adalah jembatan antar perasaan yang mampu menyatukan jiwa-jiwa dalam satu nuansa keselarasan; kompak dalam nasib dan penanggungan. Ucapan, ketika ditujukan untuk kebaikan dan mendapatkan kalimat yang baik serta suasana yang pas, bisa menjadi nilai yang besar manfaat bagi yang melafazhkan maupun yang mendengarkan. Sebaliknya, ketika keliru yang dituju dan serampangan dalam mengartikulasikan, bisa mengakibatkan malapetaka dan kerusakan.
Ucapan, ternyata tak semudah asal menggerakkan lidah. Tidak boleh asal fasih, apalagi sekedar mengandalkan kerasnya teriakan. Padanya ada konsekwensi, yang karenanya harus dijaga dengan hati-hati. Karena itu, Islam memberikan aturannya.
Ada Tanggung Jawabnya
Setiap aspek harus dipertanggungjawabkan, karena itu tidak diperbolehkan menjalani hidup secara sembarangan. Konsekwensi pertama dari perkara itu adalah diwajibkannya mengilmui segala sesuatu yang hendak dilakukannya; baik itu perkataan atau perbuatan. ALLAH berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Demikian juga dengan bicara, ALLAH juga telah mewajibkan seseorang untuk menetapi aturan yang telah ditetapkannya. Firman ALLAH, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada ALLAH dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya ALLAH memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati ALLAH dan Rasul-NYA, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya, serta yang ada di antara kedua kakinya niscaya aku akan menjamin surga buatnya.” (HR. Bukhari –Muslim)
Dengan berkata yang benar, maka berarti ia telah melaksanakan ketaatan terhadap perintah ALLAH dan Rasul-Nya, yang berakibat diperbaiki amal dan dijamin dengan surga.
Sebesar-besar Dusta
Sebesar-besar dusta adalah apabila seseorang berkata tentang ALLAH dan Rasul-NYA tanpa dasar yang benar. diantara bentuknya adalah mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dan Sunnah tanpa pengetahuan yang pasti, menafsirkan sesuka hati berdasarkan akalnya saja, serta memalsukan hadits-hadits Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan akalnya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”(HR. Tarmidzi)
Demikian pula sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang mengatakan atas nama (ku) apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)
Pantangan Dalam Berbicara
Banyak jenis kesalahan dalam berbicara. Mngenai apa, bagaimana, kepada siapa dan kapan saatnya. Ucapan yang menimbulkan mudharat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain adalah bicara yang dilarang. Jenisnya bisa hasutan, ungkapan kedengkian, mengungkap aib orang, penghinaan, caci maki, mengeluh atau ungkapan tidak senonoh lainnya.
Ada lagi ucapan yang sis-sia karena memang tidak ada manfaat dan juga tidak jelas manfaatnya. Jika pada orang yang berucap dengan perkataan batil akan ditimpakan kebinasaan, maka orang yang berbicara sesuatu yang sia-sia cukup baginya kerugian yang sulit dicarikan gantinya.
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan suatu kalimat yang tidak benar, hal itu akan menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam kitab Riyadhus Shalihin disebutkan bahwa Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas mashlahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap mashlahatnya, janganlah ia bicara.”
Masih dalam kitab yang sama, Imam Nawawi juga mengatakan, “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat , seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas mashlahatnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama mashlahatnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”
Dalam kitab Al-Adzkar dicantumkan bahwa Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas mashlahatnya maka berbicaralah, dan jika ia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak mashlahatnya.”
Selain itu, banyak bicara adalah satu pantangan. Meski tidak bicara yang salah, namun banyak bicara bisa menyeret seseorang pada ucapan yang dilarang, memancingnya untuk berbicara dari yang mubah kepada yang haram. Rasulullah SAW bersabda, “Cukup bohong seseoang manakala dia membicarakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)
setelah mengetahui tanggung jawab dan resiko dalam berbicara, maka hanya ada dua pilihan, yaitu bicara yang baik atau lebih baik diam.
Seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW, “Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim) Di luar itu tidak ada pilihan lainnya. Karena siapapun yang ingin berbicara hendaknya menimbang dahulu secara matang. Itulah kebiasaan orang-orang berakal.
Abu Hatim mengatakan, “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dahulu, jika terdapat (mashlahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (mashlahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada diujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”
Jika memang tak perlu, jangan dipaksakan. Lebih baik diam. Inilah yang disebut “diam itu emas”. Abu Darda’ berkata, “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang; yaitu orang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”
Namun lain halnya, jika berbicara adalah suatu keharusan, maka seseorang tidak boleh diam. Dia harus berbicara, meski pahit akibatnya dan berat konsekwensinya. Diam pada saat yang demikian adalah suatu pengkhianatan atas amanah dakwah dan kebenaran. Karena itu ALLAH menyanjung orang yang berbicara di atas jalan-NYA. ALLAH berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada ALLAH, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Al-Fushilat: 33)
Sumber: Ar-Risalah Edisi 59 tahun 2006
Ucapan, ketika menemukan bahasanya yang tepat adalah jembatan antar perasaan yang mampu menyatukan jiwa-jiwa dalam satu nuansa keselarasan; kompak dalam nasib dan penanggungan. Ucapan, ketika ditujukan untuk kebaikan dan mendapatkan kalimat yang baik serta suasana yang pas, bisa menjadi nilai yang besar manfaat bagi yang melafazhkan maupun yang mendengarkan. Sebaliknya, ketika keliru yang dituju dan serampangan dalam mengartikulasikan, bisa mengakibatkan malapetaka dan kerusakan.
Ucapan, ternyata tak semudah asal menggerakkan lidah. Tidak boleh asal fasih, apalagi sekedar mengandalkan kerasnya teriakan. Padanya ada konsekwensi, yang karenanya harus dijaga dengan hati-hati. Karena itu, Islam memberikan aturannya.
Ada Tanggung Jawabnya
Setiap aspek harus dipertanggungjawabkan, karena itu tidak diperbolehkan menjalani hidup secara sembarangan. Konsekwensi pertama dari perkara itu adalah diwajibkannya mengilmui segala sesuatu yang hendak dilakukannya; baik itu perkataan atau perbuatan. ALLAH berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Demikian juga dengan bicara, ALLAH juga telah mewajibkan seseorang untuk menetapi aturan yang telah ditetapkannya. Firman ALLAH, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada ALLAH dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya ALLAH memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati ALLAH dan Rasul-NYA, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya, serta yang ada di antara kedua kakinya niscaya aku akan menjamin surga buatnya.” (HR. Bukhari –Muslim)
Dengan berkata yang benar, maka berarti ia telah melaksanakan ketaatan terhadap perintah ALLAH dan Rasul-Nya, yang berakibat diperbaiki amal dan dijamin dengan surga.
Sebesar-besar Dusta
Sebesar-besar dusta adalah apabila seseorang berkata tentang ALLAH dan Rasul-NYA tanpa dasar yang benar. diantara bentuknya adalah mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dan Sunnah tanpa pengetahuan yang pasti, menafsirkan sesuka hati berdasarkan akalnya saja, serta memalsukan hadits-hadits Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan akalnya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”(HR. Tarmidzi)
Demikian pula sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang mengatakan atas nama (ku) apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)
Pantangan Dalam Berbicara
Banyak jenis kesalahan dalam berbicara. Mngenai apa, bagaimana, kepada siapa dan kapan saatnya. Ucapan yang menimbulkan mudharat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain adalah bicara yang dilarang. Jenisnya bisa hasutan, ungkapan kedengkian, mengungkap aib orang, penghinaan, caci maki, mengeluh atau ungkapan tidak senonoh lainnya.
Ada lagi ucapan yang sis-sia karena memang tidak ada manfaat dan juga tidak jelas manfaatnya. Jika pada orang yang berucap dengan perkataan batil akan ditimpakan kebinasaan, maka orang yang berbicara sesuatu yang sia-sia cukup baginya kerugian yang sulit dicarikan gantinya.
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan suatu kalimat yang tidak benar, hal itu akan menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam kitab Riyadhus Shalihin disebutkan bahwa Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas mashlahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap mashlahatnya, janganlah ia bicara.”
Masih dalam kitab yang sama, Imam Nawawi juga mengatakan, “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat , seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas mashlahatnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama mashlahatnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”
Dalam kitab Al-Adzkar dicantumkan bahwa Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas mashlahatnya maka berbicaralah, dan jika ia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak mashlahatnya.”
Selain itu, banyak bicara adalah satu pantangan. Meski tidak bicara yang salah, namun banyak bicara bisa menyeret seseorang pada ucapan yang dilarang, memancingnya untuk berbicara dari yang mubah kepada yang haram. Rasulullah SAW bersabda, “Cukup bohong seseoang manakala dia membicarakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)
setelah mengetahui tanggung jawab dan resiko dalam berbicara, maka hanya ada dua pilihan, yaitu bicara yang baik atau lebih baik diam.
Seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW, “Barangsiapa beriman kepada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim) Di luar itu tidak ada pilihan lainnya. Karena siapapun yang ingin berbicara hendaknya menimbang dahulu secara matang. Itulah kebiasaan orang-orang berakal.
Abu Hatim mengatakan, “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dahulu, jika terdapat (mashlahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (mashlahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada diujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”
Jika memang tak perlu, jangan dipaksakan. Lebih baik diam. Inilah yang disebut “diam itu emas”. Abu Darda’ berkata, “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang; yaitu orang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”
Namun lain halnya, jika berbicara adalah suatu keharusan, maka seseorang tidak boleh diam. Dia harus berbicara, meski pahit akibatnya dan berat konsekwensinya. Diam pada saat yang demikian adalah suatu pengkhianatan atas amanah dakwah dan kebenaran. Karena itu ALLAH menyanjung orang yang berbicara di atas jalan-NYA. ALLAH berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada ALLAH, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Al-Fushilat: 33)
Sumber: Ar-Risalah Edisi 59 tahun 2006
0 komentar:
Posting Komentar