APA ITU LOGIKA ?
Menurut Mundiri dalam bukunya tersebut Logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah (diambil dari definisi Irving M. Copi). Sedangkan Poespoprojo menuliskannya sebagai ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat ( the science and art of correct thinking ). Olson tidak membahas mengenai logika dan ilmu menalar sama sekali.
Secara harfiah Logika berasal dari kata ‘Logos’ dalam bahasa Latin yang berarti perkataan atau sabda. Dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ‘Mantiq’ yang artinya berucap atau berkata.
SEJARAH LOGIKA
Mundiri menyusun runut sejarah logika sebagai berikut. Orang yang pertama kali menggunakan kata logika adalah Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato tercatat sebagai tokoh-tokoh yang ikut merintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan Kaum Stoa. Logika dikembangkan secara progresif oleh bangsa Arab dan kaum muslimin pada abad II Hijriyah. Logika menjadi bagian yang menarik perhatian dalam perkembangan kebudayaan Islam. Namun juga mendapat reaksi yang berbeda-beda, sebagai contoh Ibnu Salah dan Imam Nawawi menghukumi haram mempelajari logika, Al-Ghazali menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan Jumhur Ulama membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya. Filosof Al-Kindi mempelajari dan menyelidiki logika Yunani secara khusus dan studi ini dilakukan lebih mendalam oleh Al-Farabi.
Selanjutnya logika mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Pada masa itu digunakan buku-buku logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fonts Scientie dari John Damascenus, buku-buku komentar logika dari Bothius, dan sistematika logika dari Thomas Aquinas. Semua berangkat dan mengembangkan logika Aristoteles.
Pada abad XIII sampai dengan abad XV muncul Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus, Wilhelm Ocham menyusun logika yang sangat berbeda dengan logika Aristoteles yang kemudian kita kenal sebagai logika modern. Raymundus Lullus mengembangkan metoda Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran - kebenaran tertinggi. Francis Bacon mengembangkan metoda induktif dalam bukunya Novum Organum Scientiarum . W.Leibniz menyusun logika aljabar untuk menyederhanakan pekerjaan akal serta memberi kepastian. Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman. Selain itu George Boole (yang mengembangkan aljabar Boolean), Bertrand Russel, dan G. Frege tercatat sebagai tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan Logika Modern.
Poespoprojo tidak membahas asal-usul dan sejarah logika, begitu juga Olson. Posepoprojo membahas langsung pokok-pokok masalah dalam logika itu sendiri, sedangkan Olson tidak menyinggung sejarah logika sama sekali.
ARTI ILMU
Mundiri menjelaskan bahwa Ilmu harus dibedakan dari pengetahuan. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas mengetahui yaitu tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh dari itu.
Poespoprojo merumuskan dengan sederhana bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang merupakan satu kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta memberikan penjelasan yang dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebabnya. Olson tidak menerangkan apapun tentang definisi ilmu. Mundiri dan Poespoprojo membahas masalah logika sebagai ilmu.
PIKIRAN
Mundiri menjelaskan bahwa pikiran merupakan perkataan dan logika merupakan patokan, hukum atau rumus berpikir. Logika bertujuan untuk menilai dan menyaring pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta mendapatkan kebenaran terlepas dari segala kepentingan dan keinginan seseorang.
Poespoprojo menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas berpikir yang menyelidiki pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sesitivo-rasional, fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa yang dilihat atau dialami. Logika bertujuan untuk menganalisis jalan pikiran dari suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan tentang suatu hal.
Olson tidak menerangkan definisi pemikiran dalam konteks logika namun menjelaskan pikiran dalam konteks kreativitas. Pembahasannya ditekankan pada bahasan mengenai pemecahan masalah dengan menempuh ‘jalan’ yang tidak biasa.
KEKELIRUAN BERPIKIR DAN KREATIVITAS
Mundiri menyatakan dalam bukunya bahwa terdapat beberapa kekeliruan berpikir antara lain :
A. Kekeliruan Formal karena :
1. menggunakan empat term dalam silogisme
2. kedua term penengah tidak mencakup proses yang tidak benar
3. menyimpulkan dari dua premis negatif
4. mengakui akibat kemudian membenarkan pula sebabnya
5. menolak sebab dan menyimpulkan bahwa akibat tidak terlaksana
6. bentuk disyungtif yang mengingkari alternatif pertama kemudian mengakui alternatif lain
7. tidak runtutnya peryataan satu dengan yang diakui sebelumnya
B. Kekeliruan Informal yang disebabkan oleh :
1. Membuat generalisasi yang terburu-buru
2. memaksakan praduga
3. mengundang permasalahan
4. menggunakan argumen yang berputar
5. berganti dasar
6. mendasarkan pada otoritas
7. mendasarkan diri pada kekuasaan
8. menyerang pribadi
9. kurang tahu permasalahan
10. pertanyaan yang rumit
11. alasan yang terlalu sederhana
12. menetapkan sifat yang bukan suatu keharusan
13. argumen yang tidak relevan
14. salah mengambil analogi
15. mengundang belas kasihan
C. Kekeliruan karena penggunaan bahasa yang disebabkan oleh
1. komposisi
2. kekeliruan dalam pembagian
3. kekeliruan karena tekanan
4. kekeliruan karena amfiboli (kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda-beda)
5. kekeliruan karena menggunakan kata dalam beberapa arti
Permasalahan tersebut merupakan hal-hal yang biasa terjadi pada setiap orang sehingga orang tersebut dapat mengambil pemecahan masalah yang keliru dan jauh dari logika. Dengan demikian kesalahan-kesalahan berpikir tersebut merupakan kesalahan sistematika berpikir.
Hal yang senada diungkapkan oleh Poespoprojo bahwa kesalahan logis, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan fallacy, bukanlah kesalahan dalam fakta. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat disebutkan antara lain :
1. Generalisasi yang tergesa-gesa
Kesalahan logis ini sekedar akibat dari induksi yang salah karena berdasar pada sampling hal-hal khusus yang tidak cukup atau karena tidak memakai batasan.
2. Non Sequitur (belum tentu)
Kesalahan ini merupakan kesalahan yang terjadi karena premis yang salah dipakai. Non Sequitur merupakan loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang tidak ada kaitannya dengan premis tadi. Hubungan premis dan kesimpulan hanya semu, hubungan yang sesungguhnya tidak ada.
3. Analogi Palsu
Analogi palsu adalah suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat suatu idea atau gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan idea atau gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan idea atau gagasan yang pertama tadi.
4. Penalaran Melingkar
Penalaran melingkar adalah kesalahan logis dari karena si penalar meletakkan kesimpulannya ke dalam premisnya, dan kemudian memakai premis itu untuk membuktikan kesimpulannya. Jadi kesimpulan dan premisnya sama.
5. Deduksi Cacat
Penggunaan premis yang cacat sangat sering terjadi hingga seyogyanya di dalam penalaran atau diskusi yang serius kita berhenti sejenak dan mempertanyakan premis-premis yang kita pakai.
6. Pikiran Simplistis
Pikiran simplistis adalah kesalahan logis yang teradi karena si penalar terlalu menyederhanakan masalah. Masalah yang begitu berseluk-beluk merupakan disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan, atau dirumuskan hanya ke dalam dua segi yaitu hitam-putih, atau dirumuskan sebgaia hanya menjadi dua pilihan ini atau itu.
7. Argumen ad Hominem
Kesalahan logis ini terjadi karena kita tidak memperhatikan masalah yang sesungguhnya dan menyerang orangnya, pribadinya.
8. Argumen ad Populum
Sasaran kesalahan logis ini adalah kelompok bukan masalahnya, mirip dengan kesalahan logis Argumen ad Hominem.
9. Kewibawaan Palsu
Kewibawaan terkadang dibutuhkan untuk memberi bobot pada penalaran kita. Kesalahan logis dari kewibawaan palsu adalah karena dipakainya kewibawaan bukan yang sesungguhnya.
10. Sesudahnya maka karenanya
Kesalahan logis ini terjadi karena salah interpretasi terhadap hubungan sebabakibat.
11. Tidak relevan
Kesalahan logis ini terjadi karena godaan pada seseorang untuk tetap memegang teguh pada pokok masalah sehingga menyeleweng dari pokok masalahnya.
Olson berpendapat lain mengenai kesalahan-kesalahan logis yang sering dijumpai. Orang yang sedang mencari solusi atas suatu permasalahan sering tidak mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini disebutnya dengan krisis kreativitas sehingga Ia menyebutkan hal-hal yang sering terjadi pada setiap orang sehingga menghambat potensinya untuk menjadi kreatif. Dengan kata lain Ia menyebutkan bahwa ada jalan pikiran lain yang bisa ditempuh oleh seseorang tanpa mengingkari logika berpikir.
Hal-hal yang menghambat kreativitas seseorang :
1. Kebiasaan
Cara-cara memandang objek berdasarkan kebiasaan dapat menemui berbagai hambatan yang disebut ‘functional fixation’. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa kita mempunyai beberapa kebiasaan mental dan untuk beberapa alasan tetap mempertahankannya.
2. Waktu
Kesibukan merupakan alasan untuk menjadi tidak kreatif. Tetapi sebenarnya banyak orang yang tidak mau menginvestasikan waktunya itu untuk menajamkan kreativitas mereka atau memanfaatkannya.
3. Dibanjiri masalah
Sebagian dari kita merasa bahwa kita berhadapan dengan begitu banyak masalah yang penting sehingga kita tidak mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk mengatasi beberapa masalah secara kreatif.
4. Tidak ada masalah
Kita sering merasakan tidak ada masalah dan kesempatan, karena para ahli telah menemukan semua jawaban atau telah mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.
5. Takut Gagal
Kita dapat menghindari kegagalan dan kreativitas dengan berbagai cara : dengan menyesuaikan diri, tidak pernah mencoba sesuatu yang berbeda, meyakinkan diri bahwa kita hanya menggunakan gagasan yang telah terbukti berhasil dan berjalan pada lorong-lorong yang telah sirintis. Dengan demikian kita menghindari kegagalan-kegagalan kecil. Namun kita telah gagal sebagai manusia. Kita menjadi tumbuh secara tidak kreatif melebihi kebiasaan-kebiasaan lama dan naluri.
6. Kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang
Manusia tidak mau mengalami kesulitan karena tidak memiliki suatu jawaban langsung. Ketika suatu masalah dikemukakan, secara langsung kita memberikan sebuah pemecahan. Hanya jika pemecahan pertama tidak berhasil maka kita mencoba cara yang lain.
7. Kesulitan kegiatan mental yang diarahkan
Seringkali secara mental kita menyelipkan perasaan khawatir atau kekacau-balauan berpikir di dalam jangkauan kita. Dari keadaan serupa itu kadang-kadang timbul suatu pemikiran yang bernilai. Akan tetapi, karena dari mula kita memang tidak mencari suatu pemecahan atau jawaban bagi suatu masalah, maka tidak ada gagasan atau wawasan bagi suatu masalah, maka tidak ada gagasan atau wawasan yang muncul dari dalam pikiran kita. Kita seringkali dibingungkan oleh masalah seberapa jauh kita telah memikirkan atau mencemaskan suatu permasalahan serta bagaimana mengarahkan dan menghasilkannya.
8. Takut bersenang-senang
Kita dapat menjadi lebih kreatif dengan bersenang-senang. Akan tetapi banyak orang yang merasa bersalah bila mereka bersenang-senang. Manusia sering tidak sadar bahwa rileks, bergembira, dan bersantai-santai merupakan aspek-aspek yang penting dari proses pemecahan masalah secara kreatif.
9. Kritik orang lain
Secara tak sengaja kreativitas sering terhambat oleh kritik-kritik orang lain. Bila suatu gagasan baru diperkenalkan, gagasan tersebut sering dipatahkan dan diobrak-abrik. Seseorang dengan gagasannya ditertawakan dengan ungkapan-ungkapan sebagai berikut.
MENGUJI GAGASAN ATAU PENALARAN
Mundiri mengajukan cara untuk menguji suatu gagasan atau pemikiran atau hipotesis dalam ukuran-ukuran :
1. Relevansi, pemikiran yang diajukan harus berusaha menerangkan fakta-fakta yang dihadapi. Oleh karena itu hipotesis harus relevan dengan fakta yang hendak dijelaskan.
2. Mampu untuk diuji, ini adalah ciri utama yang membedakan antara hipotesis ilmiah dan hipotesis non-ilmiah. Hipotesis harus memiliki kemampuan untuk diuji dengan fakta-fakta inderawi atau perhitungan logis.
3. Bersesuaian dengan hipotesa yang telah diterima sebagai pengetahuan yang benar.
4. Mempunyai daya ramal. Hipotesis yang baik tidak saja mendeskripsikan fakta fakta, tetapi interpretasi yang dibuatnya mampu menjelaskan fakta-fakta sejenis yang tidak diketahui atau belum diselidiki.
5. Sederhana.
Poespoprojo berpendapat bahwa tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tapi dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar.
Jadi ukuran dalam menentukan apakah suatu pemikiran atau penalaran adalah benar atau salah bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak atau tidak enak, melainkan cocok atau tidak dengan fakta atau tidak.
Empat Pertanyaan
1. Apa yang hendak ditegaskan atau apa pokok pernyataan yang diajukan.
2. Bagaimana hal itu : Atas dasar orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu ?
3. Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya ? Apakah kesimpulan itu sah ?
4. Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar ? Apakah pasti ? Atau hanya mungkin tidak benar ?
Skema
Untuk membantu untuk menguji atau menganalisis suatu pemikiran, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya dalam bentuk sebuah skema, sehingga tampak jelas mana yang merupakan kesimpulan, mana yang asalan, serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.
Tiga Syarat Pokok
1. Pemikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya harus benar
2. Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
3. Jalan pikiran harus logis atau lurus/sah.
Olson mempunyai caranya sendiri dalam menentukan gagasan yang terbaik. Antara lain dengan :
1. Memadukan pikiran sadar dan bawah sadar, kita perlu tidak hanya menarik kesimpulan berdasarkan pikiransadar kita yang terbatas, tetapi juga berdasarkan pikiran bawah sadar kita yang luas.
2. Keunikan individu, untuk menjadi lebih kreatif kita harus mengakui keunikan kita dan memanfaatkannya dengan memilih gagasan-gagasan yang kita anggap bernilai bagi kita berdasarkan tujuan, kebutuhan, dan pengalaman yang unik.
3. Perasaan dan intuisi yang mendalam, intuisi kita sering tidak jelas dan tidak rasional malahan lebih merupakan pemikiran mental bawah sadar. Mungkin kondisi paling intern dari orang yang kreatif adalah sumber intern penilaian dan seleksi mereka.
4. Kriteria, kita gunakan untuk menentukan gagasan mana yang terbaik dan merupakan standar sadar yang kita gunakan untuk mengukur nilai gagasan-gagasan kita. Kriteria ini memperkenalkan suatu unsur yang sadar, sistematis, berhati-hati, yang memabntu mengorganisasi dan memfokuskan kemempuan penyeleksian sadar serta bawah sadar kita.
5. Memilih gagasan, untuk memilih gagasan yang terbaik kita menggunakan kriteria yang telah kita bina untuk membantu mengevaluasi gagasan pemecahan masalah kita. Kemudian kita menyingkrkan gagasan yang bukan bukan atau menggelikan dan gagasan sejenisnya.
Menurut Mundiri dalam bukunya tersebut Logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah (diambil dari definisi Irving M. Copi). Sedangkan Poespoprojo menuliskannya sebagai ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat ( the science and art of correct thinking ). Olson tidak membahas mengenai logika dan ilmu menalar sama sekali.
Secara harfiah Logika berasal dari kata ‘Logos’ dalam bahasa Latin yang berarti perkataan atau sabda. Dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ‘Mantiq’ yang artinya berucap atau berkata.
SEJARAH LOGIKA
Mundiri menyusun runut sejarah logika sebagai berikut. Orang yang pertama kali menggunakan kata logika adalah Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato tercatat sebagai tokoh-tokoh yang ikut merintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan Kaum Stoa. Logika dikembangkan secara progresif oleh bangsa Arab dan kaum muslimin pada abad II Hijriyah. Logika menjadi bagian yang menarik perhatian dalam perkembangan kebudayaan Islam. Namun juga mendapat reaksi yang berbeda-beda, sebagai contoh Ibnu Salah dan Imam Nawawi menghukumi haram mempelajari logika, Al-Ghazali menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan Jumhur Ulama membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya. Filosof Al-Kindi mempelajari dan menyelidiki logika Yunani secara khusus dan studi ini dilakukan lebih mendalam oleh Al-Farabi.
Selanjutnya logika mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Pada masa itu digunakan buku-buku logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fonts Scientie dari John Damascenus, buku-buku komentar logika dari Bothius, dan sistematika logika dari Thomas Aquinas. Semua berangkat dan mengembangkan logika Aristoteles.
Pada abad XIII sampai dengan abad XV muncul Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus, Wilhelm Ocham menyusun logika yang sangat berbeda dengan logika Aristoteles yang kemudian kita kenal sebagai logika modern. Raymundus Lullus mengembangkan metoda Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran - kebenaran tertinggi. Francis Bacon mengembangkan metoda induktif dalam bukunya Novum Organum Scientiarum . W.Leibniz menyusun logika aljabar untuk menyederhanakan pekerjaan akal serta memberi kepastian. Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman. Selain itu George Boole (yang mengembangkan aljabar Boolean), Bertrand Russel, dan G. Frege tercatat sebagai tokoh-tokoh yang berjasa dalam mengembangkan Logika Modern.
Poespoprojo tidak membahas asal-usul dan sejarah logika, begitu juga Olson. Posepoprojo membahas langsung pokok-pokok masalah dalam logika itu sendiri, sedangkan Olson tidak menyinggung sejarah logika sama sekali.
ARTI ILMU
Mundiri menjelaskan bahwa Ilmu harus dibedakan dari pengetahuan. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas mengetahui yaitu tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh dari itu.
Poespoprojo merumuskan dengan sederhana bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang merupakan satu kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta memberikan penjelasan yang dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebabnya. Olson tidak menerangkan apapun tentang definisi ilmu. Mundiri dan Poespoprojo membahas masalah logika sebagai ilmu.
PIKIRAN
Mundiri menjelaskan bahwa pikiran merupakan perkataan dan logika merupakan patokan, hukum atau rumus berpikir. Logika bertujuan untuk menilai dan menyaring pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta mendapatkan kebenaran terlepas dari segala kepentingan dan keinginan seseorang.
Poespoprojo menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas berpikir yang menyelidiki pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sesitivo-rasional, fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa yang dilihat atau dialami. Logika bertujuan untuk menganalisis jalan pikiran dari suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan tentang suatu hal.
Olson tidak menerangkan definisi pemikiran dalam konteks logika namun menjelaskan pikiran dalam konteks kreativitas. Pembahasannya ditekankan pada bahasan mengenai pemecahan masalah dengan menempuh ‘jalan’ yang tidak biasa.
KEKELIRUAN BERPIKIR DAN KREATIVITAS
Mundiri menyatakan dalam bukunya bahwa terdapat beberapa kekeliruan berpikir antara lain :
A. Kekeliruan Formal karena :
1. menggunakan empat term dalam silogisme
2. kedua term penengah tidak mencakup proses yang tidak benar
3. menyimpulkan dari dua premis negatif
4. mengakui akibat kemudian membenarkan pula sebabnya
5. menolak sebab dan menyimpulkan bahwa akibat tidak terlaksana
6. bentuk disyungtif yang mengingkari alternatif pertama kemudian mengakui alternatif lain
7. tidak runtutnya peryataan satu dengan yang diakui sebelumnya
B. Kekeliruan Informal yang disebabkan oleh :
1. Membuat generalisasi yang terburu-buru
2. memaksakan praduga
3. mengundang permasalahan
4. menggunakan argumen yang berputar
5. berganti dasar
6. mendasarkan pada otoritas
7. mendasarkan diri pada kekuasaan
8. menyerang pribadi
9. kurang tahu permasalahan
10. pertanyaan yang rumit
11. alasan yang terlalu sederhana
12. menetapkan sifat yang bukan suatu keharusan
13. argumen yang tidak relevan
14. salah mengambil analogi
15. mengundang belas kasihan
C. Kekeliruan karena penggunaan bahasa yang disebabkan oleh
1. komposisi
2. kekeliruan dalam pembagian
3. kekeliruan karena tekanan
4. kekeliruan karena amfiboli (kalimat yang dapat ditafsirkan berbeda-beda)
5. kekeliruan karena menggunakan kata dalam beberapa arti
Permasalahan tersebut merupakan hal-hal yang biasa terjadi pada setiap orang sehingga orang tersebut dapat mengambil pemecahan masalah yang keliru dan jauh dari logika. Dengan demikian kesalahan-kesalahan berpikir tersebut merupakan kesalahan sistematika berpikir.
Hal yang senada diungkapkan oleh Poespoprojo bahwa kesalahan logis, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan fallacy, bukanlah kesalahan dalam fakta. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat disebutkan antara lain :
1. Generalisasi yang tergesa-gesa
Kesalahan logis ini sekedar akibat dari induksi yang salah karena berdasar pada sampling hal-hal khusus yang tidak cukup atau karena tidak memakai batasan.
2. Non Sequitur (belum tentu)
Kesalahan ini merupakan kesalahan yang terjadi karena premis yang salah dipakai. Non Sequitur merupakan loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang tidak ada kaitannya dengan premis tadi. Hubungan premis dan kesimpulan hanya semu, hubungan yang sesungguhnya tidak ada.
3. Analogi Palsu
Analogi palsu adalah suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat suatu idea atau gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan idea atau gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan idea atau gagasan yang pertama tadi.
4. Penalaran Melingkar
Penalaran melingkar adalah kesalahan logis dari karena si penalar meletakkan kesimpulannya ke dalam premisnya, dan kemudian memakai premis itu untuk membuktikan kesimpulannya. Jadi kesimpulan dan premisnya sama.
5. Deduksi Cacat
Penggunaan premis yang cacat sangat sering terjadi hingga seyogyanya di dalam penalaran atau diskusi yang serius kita berhenti sejenak dan mempertanyakan premis-premis yang kita pakai.
6. Pikiran Simplistis
Pikiran simplistis adalah kesalahan logis yang teradi karena si penalar terlalu menyederhanakan masalah. Masalah yang begitu berseluk-beluk merupakan disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan, atau dirumuskan hanya ke dalam dua segi yaitu hitam-putih, atau dirumuskan sebgaia hanya menjadi dua pilihan ini atau itu.
7. Argumen ad Hominem
Kesalahan logis ini terjadi karena kita tidak memperhatikan masalah yang sesungguhnya dan menyerang orangnya, pribadinya.
8. Argumen ad Populum
Sasaran kesalahan logis ini adalah kelompok bukan masalahnya, mirip dengan kesalahan logis Argumen ad Hominem.
9. Kewibawaan Palsu
Kewibawaan terkadang dibutuhkan untuk memberi bobot pada penalaran kita. Kesalahan logis dari kewibawaan palsu adalah karena dipakainya kewibawaan bukan yang sesungguhnya.
10. Sesudahnya maka karenanya
Kesalahan logis ini terjadi karena salah interpretasi terhadap hubungan sebabakibat.
11. Tidak relevan
Kesalahan logis ini terjadi karena godaan pada seseorang untuk tetap memegang teguh pada pokok masalah sehingga menyeleweng dari pokok masalahnya.
Olson berpendapat lain mengenai kesalahan-kesalahan logis yang sering dijumpai. Orang yang sedang mencari solusi atas suatu permasalahan sering tidak mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini disebutnya dengan krisis kreativitas sehingga Ia menyebutkan hal-hal yang sering terjadi pada setiap orang sehingga menghambat potensinya untuk menjadi kreatif. Dengan kata lain Ia menyebutkan bahwa ada jalan pikiran lain yang bisa ditempuh oleh seseorang tanpa mengingkari logika berpikir.
Hal-hal yang menghambat kreativitas seseorang :
1. Kebiasaan
Cara-cara memandang objek berdasarkan kebiasaan dapat menemui berbagai hambatan yang disebut ‘functional fixation’. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa kita mempunyai beberapa kebiasaan mental dan untuk beberapa alasan tetap mempertahankannya.
2. Waktu
Kesibukan merupakan alasan untuk menjadi tidak kreatif. Tetapi sebenarnya banyak orang yang tidak mau menginvestasikan waktunya itu untuk menajamkan kreativitas mereka atau memanfaatkannya.
3. Dibanjiri masalah
Sebagian dari kita merasa bahwa kita berhadapan dengan begitu banyak masalah yang penting sehingga kita tidak mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk mengatasi beberapa masalah secara kreatif.
4. Tidak ada masalah
Kita sering merasakan tidak ada masalah dan kesempatan, karena para ahli telah menemukan semua jawaban atau telah mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.
5. Takut Gagal
Kita dapat menghindari kegagalan dan kreativitas dengan berbagai cara : dengan menyesuaikan diri, tidak pernah mencoba sesuatu yang berbeda, meyakinkan diri bahwa kita hanya menggunakan gagasan yang telah terbukti berhasil dan berjalan pada lorong-lorong yang telah sirintis. Dengan demikian kita menghindari kegagalan-kegagalan kecil. Namun kita telah gagal sebagai manusia. Kita menjadi tumbuh secara tidak kreatif melebihi kebiasaan-kebiasaan lama dan naluri.
6. Kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang
Manusia tidak mau mengalami kesulitan karena tidak memiliki suatu jawaban langsung. Ketika suatu masalah dikemukakan, secara langsung kita memberikan sebuah pemecahan. Hanya jika pemecahan pertama tidak berhasil maka kita mencoba cara yang lain.
7. Kesulitan kegiatan mental yang diarahkan
Seringkali secara mental kita menyelipkan perasaan khawatir atau kekacau-balauan berpikir di dalam jangkauan kita. Dari keadaan serupa itu kadang-kadang timbul suatu pemikiran yang bernilai. Akan tetapi, karena dari mula kita memang tidak mencari suatu pemecahan atau jawaban bagi suatu masalah, maka tidak ada gagasan atau wawasan bagi suatu masalah, maka tidak ada gagasan atau wawasan yang muncul dari dalam pikiran kita. Kita seringkali dibingungkan oleh masalah seberapa jauh kita telah memikirkan atau mencemaskan suatu permasalahan serta bagaimana mengarahkan dan menghasilkannya.
8. Takut bersenang-senang
Kita dapat menjadi lebih kreatif dengan bersenang-senang. Akan tetapi banyak orang yang merasa bersalah bila mereka bersenang-senang. Manusia sering tidak sadar bahwa rileks, bergembira, dan bersantai-santai merupakan aspek-aspek yang penting dari proses pemecahan masalah secara kreatif.
9. Kritik orang lain
Secara tak sengaja kreativitas sering terhambat oleh kritik-kritik orang lain. Bila suatu gagasan baru diperkenalkan, gagasan tersebut sering dipatahkan dan diobrak-abrik. Seseorang dengan gagasannya ditertawakan dengan ungkapan-ungkapan sebagai berikut.
MENGUJI GAGASAN ATAU PENALARAN
Mundiri mengajukan cara untuk menguji suatu gagasan atau pemikiran atau hipotesis dalam ukuran-ukuran :
1. Relevansi, pemikiran yang diajukan harus berusaha menerangkan fakta-fakta yang dihadapi. Oleh karena itu hipotesis harus relevan dengan fakta yang hendak dijelaskan.
2. Mampu untuk diuji, ini adalah ciri utama yang membedakan antara hipotesis ilmiah dan hipotesis non-ilmiah. Hipotesis harus memiliki kemampuan untuk diuji dengan fakta-fakta inderawi atau perhitungan logis.
3. Bersesuaian dengan hipotesa yang telah diterima sebagai pengetahuan yang benar.
4. Mempunyai daya ramal. Hipotesis yang baik tidak saja mendeskripsikan fakta fakta, tetapi interpretasi yang dibuatnya mampu menjelaskan fakta-fakta sejenis yang tidak diketahui atau belum diselidiki.
5. Sederhana.
Poespoprojo berpendapat bahwa tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tapi dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar.
Jadi ukuran dalam menentukan apakah suatu pemikiran atau penalaran adalah benar atau salah bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak atau tidak enak, melainkan cocok atau tidak dengan fakta atau tidak.
Empat Pertanyaan
1. Apa yang hendak ditegaskan atau apa pokok pernyataan yang diajukan.
2. Bagaimana hal itu : Atas dasar orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu ?
3. Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya ? Apakah kesimpulan itu sah ?
4. Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar ? Apakah pasti ? Atau hanya mungkin tidak benar ?
Skema
Untuk membantu untuk menguji atau menganalisis suatu pemikiran, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya dalam bentuk sebuah skema, sehingga tampak jelas mana yang merupakan kesimpulan, mana yang asalan, serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.
Tiga Syarat Pokok
1. Pemikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya harus benar
2. Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
3. Jalan pikiran harus logis atau lurus/sah.
Olson mempunyai caranya sendiri dalam menentukan gagasan yang terbaik. Antara lain dengan :
1. Memadukan pikiran sadar dan bawah sadar, kita perlu tidak hanya menarik kesimpulan berdasarkan pikiransadar kita yang terbatas, tetapi juga berdasarkan pikiran bawah sadar kita yang luas.
2. Keunikan individu, untuk menjadi lebih kreatif kita harus mengakui keunikan kita dan memanfaatkannya dengan memilih gagasan-gagasan yang kita anggap bernilai bagi kita berdasarkan tujuan, kebutuhan, dan pengalaman yang unik.
3. Perasaan dan intuisi yang mendalam, intuisi kita sering tidak jelas dan tidak rasional malahan lebih merupakan pemikiran mental bawah sadar. Mungkin kondisi paling intern dari orang yang kreatif adalah sumber intern penilaian dan seleksi mereka.
4. Kriteria, kita gunakan untuk menentukan gagasan mana yang terbaik dan merupakan standar sadar yang kita gunakan untuk mengukur nilai gagasan-gagasan kita. Kriteria ini memperkenalkan suatu unsur yang sadar, sistematis, berhati-hati, yang memabntu mengorganisasi dan memfokuskan kemempuan penyeleksian sadar serta bawah sadar kita.
5. Memilih gagasan, untuk memilih gagasan yang terbaik kita menggunakan kriteria yang telah kita bina untuk membantu mengevaluasi gagasan pemecahan masalah kita. Kemudian kita menyingkrkan gagasan yang bukan bukan atau menggelikan dan gagasan sejenisnya.
0 komentar:
Posting Komentar